Monday, January 4, 2016

Transisi 2015 menuju 2016

Bagi beberapa orang yang bertanya kepada saya apa yang bisa direnungkan di tahun 2015, saya akan menjawab 2015 adalah tahun transisi untuk saya. Mengapa? Pertama, bisa dilihat dari gelar akademis kedua yang saya dapatkan. Akhirnya, saya bisa merasakan wisuda S2 tepat waktu walaupun waktu sidang tesis yang saya lakukan mundur dari jadwal seharusnya. Berbeda dari proses kelulusan S1 sebelumnya, saya sangat puas dengan apa yang saya kerjakan di studi S2 saya karena saya bisa membuat penelitian untuk tesis saya dimana saya mengerjakan topik yang saya inginkan dan saya berkesempatan untuk mempelajari topik itu lebih dalam. Dengan bertambahnya gelar S2 saya ini, tantangan kepada diri sendiri untuk meningkatkan kemampuanmu sudah "terpampang nyata" di depan nyata. "Apa lagi yang bisa saya lakukan ya dengan gelar S2 ini?" pertanyaan itu yang muncul di kepala saya setelah saya lulus sidang. Inilah yang saya maksud dengan transisi.

Some of squad from PGP Batch 20 MK

Hal kedua yang membuat saya mengatakan tahun 2015 merupakan tahun transisi berasal dari pekerjaan yang saya lakukan. Dinamika tim pasti terjadi, namun ada hal lain yang cukup “menarik perhatian” saya pada saat bekerja di tahun 2015. Ada 1 project yang saya kerjakan bersama tim, yaitu sebuah kampanye lingkungan yang beberapa waktu sempat saya favoritkan, yang juga berasal dari lembaga non profit yang saya kagumi. Yang spesial dari project ini adalah konsep pengerjaan project melibatkan pengerjaan konsep kampanye melalui media sosial. Hal ini, tentunya, menjadi konsep baru yang saya pelajari bersama tim. Di titik ini, banyak hal yang benar-benar saya pelajari dan renungi. Saya belajar bagaimana menjadi konsultan komunikasi lingkungan yang sebenarnya, bagaimana penerapan konsep komunikasi yang efektif melalui media sosial, sampai dengan membuat keputusan-keputusan penting terkait pekerjaan ini. Di fase inilah saya merasa sedang diuji untuk “naik level” di bidang yang saya geluti. Stress? Pasti! Tapi saya juga memastikan bahwa stress ini eustress, bukan distress. Yang penting bisa happy dan menemukan kepuasan batin ketika sedang bekerja.

Working for one of my favourite environmental campaign, Nature Is Speaking (Alam Berbicara)

Untuk hal yang berkaitan dengan peran sebagai anak tertua di keluarga juga tak kalah besar tantangannya. Tak perlu dijabarkan, di tahun 2015 saya juga belajar untuk lagi-lagi mengatur ego, emosi dan kepentingan-kepentingan pribadi. Pola hubungan pertemanan saya pun sedikit banyak mengalami perubahan. Di sinilah moment dimana saya melihat definisi keluarga dalam versi lebih luas lagi. Senang sedih kesal pasti ada, tapi hubungan keluarga yang sebenarnya itu tidak putus walau badai menghadang.

“Bonus” yang saya dapatkan dari apa yang telah saya lakukan dan saya lalui di 2015 ini adalah liburan yang awalnya wacana, akhirnya terlaksana juga. Liburan yang cukup random dan singkat ke tempat-tempat yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya. Di perjalanan liburan kali ini juga cukup berbeda dari biasanya. Menjadi pribadi yang lebih terbuka akan hal-hal baru adalah hal yang saya pelajari dari liburan ini. Mengunjungi tempat wisata baru di Bali (yang belum begitu mainstream) membuat saya menahan diri untuk tidak membandingkan keindahan tempat wisata satu sama lain. Layaknya manusia yang berbeda tiap individu, begitu pula tempat wisata. Keunikan dari masing-masing tempat wisata haruslah jeli untuk ditelaah, bukan semata-mata dibandingkan. Pada akhirnya buat saya, berwisata itu lebih mengarah kepada menikmati (keunikan) untuk menjaga (kelangsungan keindahannya). Bukan hanya gaya-gayaan di media sosial, tapi bagaimana bisa memberikan pelajaran untuk diri sendiri.
Sengaja gak mau kasih angle keren untuk foto ini, karena masih mau menyimpan sendiri indahnya tempat ini :)

Dari apa yang saya dapatkan di tahun 2015, pastinya akan menaikkan “level” kehidupan di tahun 2016. Tingkat kedewasaan saya di tahun 2015 ini sepertinya sedang diasah. Tidak muluk-muluk untuk membuat resolusi, namun sepertinya akan banyak hal seru yang sepertinya saya dapatkan di tahun 2016 ini. Kalau menurut ramalan shio, shio saya akan mendapat banyak berkah (dan juga tantangan) di tahun ini. Semoga hal-hal tersebut dapat terus membuat saya produktif untuk berkarya dan bahagia sepanjang tahun.

Selamat Tahun Baru 2016! 

Saturday, November 21, 2015

Postgraduate Life (2) : Lintas Disiplin

Yihaaa...kembali lagi menulis bukan perkara yang mudah untuk saya setelah beberapa bulan terakhir berjibaku rutin menulis untuk penelitian personal.

Kali ini, tanpa ada beban yang sama, saya ingin melanjutkan cerita mengenai pengalaman kuliah lanjutan saya. Yup, kuliah S2 yang berbeda disiplin ilmu dari kuliah S1 sebelumnya. Jika pada saat S1 saya mengambil jurusan Psikologi, kali ini di S2 saya mengambil jurusan komunikasi, tepatnya Marketing Communication. Alasannya sederhana, karena dari awal saya tidak (atau mungkin belum) kepikiran untuk mengambil S2 Psikologi dan menjadi Psikolog. Kalau sempat ingat-ingat, memang dulu ketika di bangku S1 pun saya berpikir untuk mengambil jurusan Manajemen SDM atau Komunikasi untuk jurusan kuliah S2 saya jika ada kesempatan. Lalu, salah satu pilihan tersebut menghampiri saya dan tanpa babibu saya ambil.


Singkatnya, kuliah lintas jurusan atau disiplin ilmu itu tidak semudah yang dibayangkan. Dengan hanya ada waktu 3 semester, bukan waktu yang lama juga untuk saya bisa mengejar. Gladly, saya bisa bilang ilmu komunikasi ini menyenangkan. Tidak mudah mempelajari secara detail, tapi karena menyenangkan, memudahkan saya untuk memahaminya lebih dalam melalui analisa aplikasinya. Yang lebih menggembirakan lagi adalah ada ilmu psikologi yang dipakai pada salah satu mata kuliah S2 saya ini. Yeay! 


Adalah mata kuliah Consumer Behavior yang dipelajari kembali di kuliah S2 saya. Mata kuliah ini sudah pernah saya dapatkan di kuliah S1 saya dan untungnya saya membeli buku aslinya karena ternyata buku itu (yang cukup mahal di jamannya) dipakai kembali di kuliah S2 saya. Level of Needs in Maslow Hierachy menjadi teori yang banyak dipakai di mata kuliah ini dan dosen saya di mata kuliah ini mengatakan ia senang ada mahasiswa S2 nya yang punya latar belakang S1 dari Psikologi. Well, it’s a compliment for me, yet a challenge to prove I’ve studied well in my undergraduate :D


Di setiap tugas mata kuliah Consumer Behavior ini, saya berkesempatan untuk mengeksplor dan mengkombinasi teori psikologi dan komunikasi sebagai dasar analisa saya. Lagi-lagi, tidak mudah untuk menggabungkannya namun saya excited untuk mengerjakan setiap tugasnya. Dari sinilah yang membuat saya bisa bilang bahwa kuliah komunikasi ini menyenangkan. Tak hanya itu, saya rasa pun teman-teman dari psikologi perlu untuk tahu atau sedikit belajar mengenai teori komunikasi yang sangat relevan dengan teori psikologi.


Mendapat nilai akhir yang baik untuk mata kuliah ini merupakan bonus tersendiri untuk saya. Saya pun takjub (heran lebih tepatnya) bisa mendapatkan nilai yang memuaskan dari setiap tugas di mata kuliah ini. Teori-teori psikologi yang saya pakai dimata kuliah ini antara lain untuk membuat analisa mengenai gambaran kepribadian dalam kebiasaan membeli barang mewah dan juga faktor apa yang menjelaskan gaya konsumsi seseorang.
Penggunaan teori Freud (walaupun hanya sedikiit) untuk menjelaskan kepribadian seseorang dalam membeli barang mewah

Faktor perkembangan dan motivasi yang menjelaskan gaya konsumsi seseorang


Bukti nyata untuk saya pribadi bahwa belajar lintas disiplin ilmu bukan membuat kita menjadi tidak fokus dengan apa yang mau kita pelajari, namun justru membuka mata bahwa suatu disiplin ilmu sebaiknya dikolaborasikan dengan disiplin ilmu lainnya. Belajar lintas disiplin ilmu yang awalnya (dan masih kayaknya sampai sekarang) membuat saya merasa ‘kecil’ di dunia pendidikan ini, kemudian terus membuat saya tergerak untuk bisa berkontribusi di lingkungan sekitar saya dengan ilmu yang sudah saya dapatkan.  Siapa bilang jurusan S1 tidak ada pengaruhnya untuk jurusan S2 yang lintas disiplin? :)


Monday, August 3, 2015

#savesharks : Versi lain "Terjun Langsung"

Setelah sekian lama tertunda menulis karena harus membuat tulisan yang bobotnya cukup besar (baca = tesis), akhirnya ada kesempatan sedikit lagi untuk menulis. Masih berhubungan dengan apa yang saya angkat di tesis saya dan apa yang selama ini sedang saya suarakan, yaitu perlindungan hiu.


Di tanggal 12 Juli kemarin, saya diajak untuk dapat bergabung bersama para aktivis lingkungan untuk mengangkat isu hiu dengan melakukan aksi damai. Nah loh, aksi damai? Kayak apa tuh bentuknya? Jadi, aksi ini diprakarsai oleh Greenpeace Indonesia yang menggandeng Savesharks Indonesia untuk melakukan ‘teguran’ kepada salah satu restoran, sebut saja raja bebek, yang masih menjual menu-menu berbahan dasar hiu. Aksi ini juga mengajak rekan-rekan media untuk dapat mendokumentasikan kegiatan ini agar dapat diketahui masyarakat luas.

Courtesy by Yahoo.com

Biasanya, jika saya melakukan aksi untuk #savesharks, banyak terjun ke sekolah, kampus atau komunitas untuk berbagi bareng mereka. Tapi, kali ini, pertama kalinya saya melakukan aksi ‘protes’ yang kemudian menjadi aksi damai dengan benar-benar turun langsung ke salah satu pelaku yang menyebabkan banyaknya menu-menu berbahan hiu masih beredar. Antara deg-degan, kagok, tapi excited banget ikut acara ini. Akan selalu akan pengalaman pertama untuk semua hal.

Tentunya, tujuan dari aksi ini adalah untuk dapat mengajak semakin banyak pihak mendukung kamapnye perlindungan hiu yang populasinya semakin menurun, salah satu nya akibat masih banyaknya permintaan menu makanan berbahan dasar hiu. Jika restoran sebesar raja bebek ini bisa menjadi contoh untuk tidak menjual menu hiu di restoran-restorannya, paling tidak bisa mengurangi jumlah permintaan daging hiu dan menjadi inspirasi bagi para pelaku restoran lainnya yang masih menjual menu makanan ini. Untungnya lagi, pihak restoran tidak melakukan 'perlawanan' atas aksi damai yang dilakukan dan cukup menerima ajakan tim aktivis hiu untuk menyampaikan ke pihak petinggi restoran dengan kebijakan tidak menjual makanan berbahan dasar hiu lagi.

Sayang banget untuk masyarakat yang senang dan masih ingin menikmati menu seafood favoritnya. Bisa saja beberapa waktu ke depan nanti, mereka tidak segampang saat ini untuk mendapatkannya dikarenakan top predator yang jadi penentu keberadaan menu seafood ini hilang akibat pola konsumsi yang kurang baik juga dari para konsumennya.

courtesy by Greenpeace Indonesia

Untuk tahu apa saja yang bisa kamu lakukan untuk mendukung kampanye perlindungan hiu ini, main-main yuk ke rumah Itong 

Tuesday, June 9, 2015

#savesharks : Bersenang-senang dahulu, Bertanggung jawab kemudian

Masih dalam rangka Hari Laut Sedunia 2015 (World Ocean Day) yang diperingati 8 Juni kemarin, saya ingin berbagi cerita mengenai pengalaman saya terakhir kali bermain-main ke laut. Cerita ini hasil dari saya berkunjung ke Teluk Jailolo, Halmahera Barat, Maluku Utara bulan Mei lalu.

Merupakan kali kedua saya berkunjung ke daerah ini untuk memeriahkan acara festival bahari yang menurut saya keren banget diadakan di Indonesia dengan inisiatif dan partisipasi penuh oleh Bupatinya sendiri. Namun ada pengamalan yang mengejutkan ketika saya berkunjung ke sana. Bukan dari rangkaian acara yang tidak keren, namun lebih kepada apa yang saya temukan langsung di sana.


Pada hari pertama diving saya di sana, seorang dive guide lokal tiba-tiba menghampiri saya dan mengatakan “Kak, di Morotai saya masih banyak ikan hiu yang dijual di pasar-pasarnya. Gimana ya caranya (supaya hiu gak ditangkap dan dijual)?”. Bukan pertama kali saya mendengar kabar ini dan memang beberapa tahun belakangan daerah Maluku Utara mengalami permasalahan akan pada bidang perikanannya. Mulai dari bom ikan sampai dengan penangkapan hiu. Kepada dive guide lokal ini, saya hanya bilang “Coba kalau ke pasar-pasar itu lagi, foto bukti hiu dijual. Kirim ke aku dan coba sebar ke social media. Kasih social punishment dulu, supaya pihak terkait juga tau ada penjualan hiu di sana”.


2 hari kemudian, hal yang berhubungan sama hiu pun terjadi lagi. Ini yang lumayan membuat ‘sakit hati’. Saya dan rombongan hari itu mengunjungi pantai Pasitufiri atau Pastofiri. Di sana dikenal dengan lokasi fotografi yang cukup apik. Saya pun ber-snorkeling ria di sana. Tiba-tiba seorang teman berteriak dari kejauhan “Kak, ada sirip hiu” dan kemudian saya melihat langsung sirip hiu yang diduga dari baby shark itu. Terlihat masih segar, daging dalamnya memang alot, dan pastinya bau amis luar biasa. 



Saya seketika terdiam sedih, memang baru pertama kalinya lihat ‘barang bukti’ itu. Selama ini hanya melihatdari foto-foto yang dikirim ke media sosial #savesharks. Saya menanyakan kepada penduduk lokal yang tahu akan perburuan hiu di daerah sana, katanya kemungkinan sirip hiu berasal dari pancingan nelayan semalam sebelumnya. Diver-diver lain pun hanya terdiam melihat sirip hiu yang terpotong tersebut dan bingung mau melakukan apa. 


Nasi sudah menjadi bubur. Beberapa sirip hiu lainnya yang ditemukan dan dikumpulkan. Saya menyarankan kepada penanggung jawab trip hari itu untuk membakar sirip-sirip tersebut agar meminimalisir potensi untuk sirip itu dijual dan dikonsumsi. 

Sebagai salah satu anggota komunitas yang menyuarakan perlindungan hiu, baru kali pertama saya bingung untuk memberikan solusi selain yang sudah disebutkan di atas. Yang lebih miris lagi adalah saya mendapatkan pengalaman kurang nyaman ini ketika tujuan awal saya ingin bersenang-senang. Well, mungkin ini namanya yang dikatakan tanggung jawab untuk menyuarakan isu konservasi tidak mengenal waktu dan tempat....

Thursday, April 9, 2015

#savesharks : Ketika Purwakarta dan Subang didatangi oleh Itong Hiu

Yup, Purwakarta dan Subang merupakan kota pertama di tahun 2015 oleh Itong Hiu. Siapa atau apa itu Itong Hiu?

Buat yang penasaran atau belum, Itong Hiu merupakan icon dari kampanye penyelamatan hiu yang saya ikuti bernama #savesharks, yang kemudian terbentuklah komunitas Savesharks Indonesia. Kampanye #savesharks ini mempunyai beberapa agenda, salah satunya Itong Goes To School. Kegiatan ini berupa kunjungan ke sekolah-sekolah untuk memperkenalkan dan mensosialisasikan isu hiu ke lingkup pendidikan.

(Info lebih lengkap mengenai Savesharks Indonesia, silahkan melipir ke www.savesharksindonesia.org )


Subang dan Purwakarta merupakan kota baru yang pertama kali saya kunjungi di tahun ini. Tak banyak yang bisa saya ceritakan mengenai 2 kota itu karena waktu saya di sana juga terbatas. Mengapa 2 kota ini dikunjungi untuk IGTS? Sebenarnya ini adalah rangkaian perjalanan kampanye ke 5 kota di 5 kabupaten dan saya berkesempatan mengunjungi 2 kota ini.


Yang bisa saya bilang tentang kota ini adalah panas dan banyak jalanan rusak. Hahaha.. Mirip memang dengan Jakarta. Tapi, jangan samakan tingkat pendidikan di kota-kota sama dengan Jakarta. Sebelum mengadakan kegiatan IGTS ini, beberapa siswa/i SMP dan SMA di 5 kabupaten ini mengikuti lomba karya tulisa yang bertemakan mengenai konservasi. Dari hasil karya tulis yang masuk, sangat disayangkan bahwa konten yang dihasilkan masih di bawah standard yang diharapkan dari para siswa sekolah menengah ini. Isu ini masih sangat baru untuk mereka, bahkan ada beberapa yang belum mengenalnya.


Pengalaman berkunjung ke kota-kota kabupaten ini memberikan insight yang cukup menarik bagi saya. Sebagai seseorang yang ingin sekali berkontribusi terhadap penyelamatan lingkungan, isu konservasi ini saya lihat tidak merata menyebar di luar kota-kota besar. Bahkan untuk masuk ranah pendidikan saat ini pun rasanya masih sangat kurang. Jangan mengerti isu konservasi, mungkin saja mereka kurang paham mengapa alam atau lingkungan hidup itu perlu dijaga atau diselamatkan.


Isu atau kampanye lingkungan dengan berbagai topik memang baiknya diangkat dan disebarluaskan dengan bahasa sederhana tapi menarik dan menyentuh sisi emosional manusia. Mengapa? Karena kalau manusia itu sendiri tidak merasa ada keterkaitan dengan isu lingkungan tersebut, makanya dukungan aksi atau bahkan perubahan perilaku untuk menyelamatkan lingkungan akan terhambat. Well, memang itulah tantangan menjadi ‘aktivis’ lingkungan, bagaimana bisa menyuarakan suatu aksi dan mempengaruhi orang lain terlibat di dalamnya.