Tuesday, June 9, 2015

#savesharks : Bersenang-senang dahulu, Bertanggung jawab kemudian

Masih dalam rangka Hari Laut Sedunia 2015 (World Ocean Day) yang diperingati 8 Juni kemarin, saya ingin berbagi cerita mengenai pengalaman saya terakhir kali bermain-main ke laut. Cerita ini hasil dari saya berkunjung ke Teluk Jailolo, Halmahera Barat, Maluku Utara bulan Mei lalu.

Merupakan kali kedua saya berkunjung ke daerah ini untuk memeriahkan acara festival bahari yang menurut saya keren banget diadakan di Indonesia dengan inisiatif dan partisipasi penuh oleh Bupatinya sendiri. Namun ada pengamalan yang mengejutkan ketika saya berkunjung ke sana. Bukan dari rangkaian acara yang tidak keren, namun lebih kepada apa yang saya temukan langsung di sana.


Pada hari pertama diving saya di sana, seorang dive guide lokal tiba-tiba menghampiri saya dan mengatakan “Kak, di Morotai saya masih banyak ikan hiu yang dijual di pasar-pasarnya. Gimana ya caranya (supaya hiu gak ditangkap dan dijual)?”. Bukan pertama kali saya mendengar kabar ini dan memang beberapa tahun belakangan daerah Maluku Utara mengalami permasalahan akan pada bidang perikanannya. Mulai dari bom ikan sampai dengan penangkapan hiu. Kepada dive guide lokal ini, saya hanya bilang “Coba kalau ke pasar-pasar itu lagi, foto bukti hiu dijual. Kirim ke aku dan coba sebar ke social media. Kasih social punishment dulu, supaya pihak terkait juga tau ada penjualan hiu di sana”.


2 hari kemudian, hal yang berhubungan sama hiu pun terjadi lagi. Ini yang lumayan membuat ‘sakit hati’. Saya dan rombongan hari itu mengunjungi pantai Pasitufiri atau Pastofiri. Di sana dikenal dengan lokasi fotografi yang cukup apik. Saya pun ber-snorkeling ria di sana. Tiba-tiba seorang teman berteriak dari kejauhan “Kak, ada sirip hiu” dan kemudian saya melihat langsung sirip hiu yang diduga dari baby shark itu. Terlihat masih segar, daging dalamnya memang alot, dan pastinya bau amis luar biasa. 



Saya seketika terdiam sedih, memang baru pertama kalinya lihat ‘barang bukti’ itu. Selama ini hanya melihatdari foto-foto yang dikirim ke media sosial #savesharks. Saya menanyakan kepada penduduk lokal yang tahu akan perburuan hiu di daerah sana, katanya kemungkinan sirip hiu berasal dari pancingan nelayan semalam sebelumnya. Diver-diver lain pun hanya terdiam melihat sirip hiu yang terpotong tersebut dan bingung mau melakukan apa. 


Nasi sudah menjadi bubur. Beberapa sirip hiu lainnya yang ditemukan dan dikumpulkan. Saya menyarankan kepada penanggung jawab trip hari itu untuk membakar sirip-sirip tersebut agar meminimalisir potensi untuk sirip itu dijual dan dikonsumsi. 

Sebagai salah satu anggota komunitas yang menyuarakan perlindungan hiu, baru kali pertama saya bingung untuk memberikan solusi selain yang sudah disebutkan di atas. Yang lebih miris lagi adalah saya mendapatkan pengalaman kurang nyaman ini ketika tujuan awal saya ingin bersenang-senang. Well, mungkin ini namanya yang dikatakan tanggung jawab untuk menyuarakan isu konservasi tidak mengenal waktu dan tempat....