Saturday, November 21, 2015

Postgraduate Life (2) : Lintas Disiplin

Yihaaa...kembali lagi menulis bukan perkara yang mudah untuk saya setelah beberapa bulan terakhir berjibaku rutin menulis untuk penelitian personal.

Kali ini, tanpa ada beban yang sama, saya ingin melanjutkan cerita mengenai pengalaman kuliah lanjutan saya. Yup, kuliah S2 yang berbeda disiplin ilmu dari kuliah S1 sebelumnya. Jika pada saat S1 saya mengambil jurusan Psikologi, kali ini di S2 saya mengambil jurusan komunikasi, tepatnya Marketing Communication. Alasannya sederhana, karena dari awal saya tidak (atau mungkin belum) kepikiran untuk mengambil S2 Psikologi dan menjadi Psikolog. Kalau sempat ingat-ingat, memang dulu ketika di bangku S1 pun saya berpikir untuk mengambil jurusan Manajemen SDM atau Komunikasi untuk jurusan kuliah S2 saya jika ada kesempatan. Lalu, salah satu pilihan tersebut menghampiri saya dan tanpa babibu saya ambil.


Singkatnya, kuliah lintas jurusan atau disiplin ilmu itu tidak semudah yang dibayangkan. Dengan hanya ada waktu 3 semester, bukan waktu yang lama juga untuk saya bisa mengejar. Gladly, saya bisa bilang ilmu komunikasi ini menyenangkan. Tidak mudah mempelajari secara detail, tapi karena menyenangkan, memudahkan saya untuk memahaminya lebih dalam melalui analisa aplikasinya. Yang lebih menggembirakan lagi adalah ada ilmu psikologi yang dipakai pada salah satu mata kuliah S2 saya ini. Yeay! 


Adalah mata kuliah Consumer Behavior yang dipelajari kembali di kuliah S2 saya. Mata kuliah ini sudah pernah saya dapatkan di kuliah S1 saya dan untungnya saya membeli buku aslinya karena ternyata buku itu (yang cukup mahal di jamannya) dipakai kembali di kuliah S2 saya. Level of Needs in Maslow Hierachy menjadi teori yang banyak dipakai di mata kuliah ini dan dosen saya di mata kuliah ini mengatakan ia senang ada mahasiswa S2 nya yang punya latar belakang S1 dari Psikologi. Well, it’s a compliment for me, yet a challenge to prove I’ve studied well in my undergraduate :D


Di setiap tugas mata kuliah Consumer Behavior ini, saya berkesempatan untuk mengeksplor dan mengkombinasi teori psikologi dan komunikasi sebagai dasar analisa saya. Lagi-lagi, tidak mudah untuk menggabungkannya namun saya excited untuk mengerjakan setiap tugasnya. Dari sinilah yang membuat saya bisa bilang bahwa kuliah komunikasi ini menyenangkan. Tak hanya itu, saya rasa pun teman-teman dari psikologi perlu untuk tahu atau sedikit belajar mengenai teori komunikasi yang sangat relevan dengan teori psikologi.


Mendapat nilai akhir yang baik untuk mata kuliah ini merupakan bonus tersendiri untuk saya. Saya pun takjub (heran lebih tepatnya) bisa mendapatkan nilai yang memuaskan dari setiap tugas di mata kuliah ini. Teori-teori psikologi yang saya pakai dimata kuliah ini antara lain untuk membuat analisa mengenai gambaran kepribadian dalam kebiasaan membeli barang mewah dan juga faktor apa yang menjelaskan gaya konsumsi seseorang.
Penggunaan teori Freud (walaupun hanya sedikiit) untuk menjelaskan kepribadian seseorang dalam membeli barang mewah

Faktor perkembangan dan motivasi yang menjelaskan gaya konsumsi seseorang


Bukti nyata untuk saya pribadi bahwa belajar lintas disiplin ilmu bukan membuat kita menjadi tidak fokus dengan apa yang mau kita pelajari, namun justru membuka mata bahwa suatu disiplin ilmu sebaiknya dikolaborasikan dengan disiplin ilmu lainnya. Belajar lintas disiplin ilmu yang awalnya (dan masih kayaknya sampai sekarang) membuat saya merasa ‘kecil’ di dunia pendidikan ini, kemudian terus membuat saya tergerak untuk bisa berkontribusi di lingkungan sekitar saya dengan ilmu yang sudah saya dapatkan.  Siapa bilang jurusan S1 tidak ada pengaruhnya untuk jurusan S2 yang lintas disiplin? :)


Monday, August 3, 2015

#savesharks : Versi lain "Terjun Langsung"

Setelah sekian lama tertunda menulis karena harus membuat tulisan yang bobotnya cukup besar (baca = tesis), akhirnya ada kesempatan sedikit lagi untuk menulis. Masih berhubungan dengan apa yang saya angkat di tesis saya dan apa yang selama ini sedang saya suarakan, yaitu perlindungan hiu.


Di tanggal 12 Juli kemarin, saya diajak untuk dapat bergabung bersama para aktivis lingkungan untuk mengangkat isu hiu dengan melakukan aksi damai. Nah loh, aksi damai? Kayak apa tuh bentuknya? Jadi, aksi ini diprakarsai oleh Greenpeace Indonesia yang menggandeng Savesharks Indonesia untuk melakukan ‘teguran’ kepada salah satu restoran, sebut saja raja bebek, yang masih menjual menu-menu berbahan dasar hiu. Aksi ini juga mengajak rekan-rekan media untuk dapat mendokumentasikan kegiatan ini agar dapat diketahui masyarakat luas.

Courtesy by Yahoo.com

Biasanya, jika saya melakukan aksi untuk #savesharks, banyak terjun ke sekolah, kampus atau komunitas untuk berbagi bareng mereka. Tapi, kali ini, pertama kalinya saya melakukan aksi ‘protes’ yang kemudian menjadi aksi damai dengan benar-benar turun langsung ke salah satu pelaku yang menyebabkan banyaknya menu-menu berbahan hiu masih beredar. Antara deg-degan, kagok, tapi excited banget ikut acara ini. Akan selalu akan pengalaman pertama untuk semua hal.

Tentunya, tujuan dari aksi ini adalah untuk dapat mengajak semakin banyak pihak mendukung kamapnye perlindungan hiu yang populasinya semakin menurun, salah satu nya akibat masih banyaknya permintaan menu makanan berbahan dasar hiu. Jika restoran sebesar raja bebek ini bisa menjadi contoh untuk tidak menjual menu hiu di restoran-restorannya, paling tidak bisa mengurangi jumlah permintaan daging hiu dan menjadi inspirasi bagi para pelaku restoran lainnya yang masih menjual menu makanan ini. Untungnya lagi, pihak restoran tidak melakukan 'perlawanan' atas aksi damai yang dilakukan dan cukup menerima ajakan tim aktivis hiu untuk menyampaikan ke pihak petinggi restoran dengan kebijakan tidak menjual makanan berbahan dasar hiu lagi.

Sayang banget untuk masyarakat yang senang dan masih ingin menikmati menu seafood favoritnya. Bisa saja beberapa waktu ke depan nanti, mereka tidak segampang saat ini untuk mendapatkannya dikarenakan top predator yang jadi penentu keberadaan menu seafood ini hilang akibat pola konsumsi yang kurang baik juga dari para konsumennya.

courtesy by Greenpeace Indonesia

Untuk tahu apa saja yang bisa kamu lakukan untuk mendukung kampanye perlindungan hiu ini, main-main yuk ke rumah Itong 

Tuesday, June 9, 2015

#savesharks : Bersenang-senang dahulu, Bertanggung jawab kemudian

Masih dalam rangka Hari Laut Sedunia 2015 (World Ocean Day) yang diperingati 8 Juni kemarin, saya ingin berbagi cerita mengenai pengalaman saya terakhir kali bermain-main ke laut. Cerita ini hasil dari saya berkunjung ke Teluk Jailolo, Halmahera Barat, Maluku Utara bulan Mei lalu.

Merupakan kali kedua saya berkunjung ke daerah ini untuk memeriahkan acara festival bahari yang menurut saya keren banget diadakan di Indonesia dengan inisiatif dan partisipasi penuh oleh Bupatinya sendiri. Namun ada pengamalan yang mengejutkan ketika saya berkunjung ke sana. Bukan dari rangkaian acara yang tidak keren, namun lebih kepada apa yang saya temukan langsung di sana.


Pada hari pertama diving saya di sana, seorang dive guide lokal tiba-tiba menghampiri saya dan mengatakan “Kak, di Morotai saya masih banyak ikan hiu yang dijual di pasar-pasarnya. Gimana ya caranya (supaya hiu gak ditangkap dan dijual)?”. Bukan pertama kali saya mendengar kabar ini dan memang beberapa tahun belakangan daerah Maluku Utara mengalami permasalahan akan pada bidang perikanannya. Mulai dari bom ikan sampai dengan penangkapan hiu. Kepada dive guide lokal ini, saya hanya bilang “Coba kalau ke pasar-pasar itu lagi, foto bukti hiu dijual. Kirim ke aku dan coba sebar ke social media. Kasih social punishment dulu, supaya pihak terkait juga tau ada penjualan hiu di sana”.


2 hari kemudian, hal yang berhubungan sama hiu pun terjadi lagi. Ini yang lumayan membuat ‘sakit hati’. Saya dan rombongan hari itu mengunjungi pantai Pasitufiri atau Pastofiri. Di sana dikenal dengan lokasi fotografi yang cukup apik. Saya pun ber-snorkeling ria di sana. Tiba-tiba seorang teman berteriak dari kejauhan “Kak, ada sirip hiu” dan kemudian saya melihat langsung sirip hiu yang diduga dari baby shark itu. Terlihat masih segar, daging dalamnya memang alot, dan pastinya bau amis luar biasa. 



Saya seketika terdiam sedih, memang baru pertama kalinya lihat ‘barang bukti’ itu. Selama ini hanya melihatdari foto-foto yang dikirim ke media sosial #savesharks. Saya menanyakan kepada penduduk lokal yang tahu akan perburuan hiu di daerah sana, katanya kemungkinan sirip hiu berasal dari pancingan nelayan semalam sebelumnya. Diver-diver lain pun hanya terdiam melihat sirip hiu yang terpotong tersebut dan bingung mau melakukan apa. 


Nasi sudah menjadi bubur. Beberapa sirip hiu lainnya yang ditemukan dan dikumpulkan. Saya menyarankan kepada penanggung jawab trip hari itu untuk membakar sirip-sirip tersebut agar meminimalisir potensi untuk sirip itu dijual dan dikonsumsi. 

Sebagai salah satu anggota komunitas yang menyuarakan perlindungan hiu, baru kali pertama saya bingung untuk memberikan solusi selain yang sudah disebutkan di atas. Yang lebih miris lagi adalah saya mendapatkan pengalaman kurang nyaman ini ketika tujuan awal saya ingin bersenang-senang. Well, mungkin ini namanya yang dikatakan tanggung jawab untuk menyuarakan isu konservasi tidak mengenal waktu dan tempat....

Thursday, April 9, 2015

#savesharks : Ketika Purwakarta dan Subang didatangi oleh Itong Hiu

Yup, Purwakarta dan Subang merupakan kota pertama di tahun 2015 oleh Itong Hiu. Siapa atau apa itu Itong Hiu?

Buat yang penasaran atau belum, Itong Hiu merupakan icon dari kampanye penyelamatan hiu yang saya ikuti bernama #savesharks, yang kemudian terbentuklah komunitas Savesharks Indonesia. Kampanye #savesharks ini mempunyai beberapa agenda, salah satunya Itong Goes To School. Kegiatan ini berupa kunjungan ke sekolah-sekolah untuk memperkenalkan dan mensosialisasikan isu hiu ke lingkup pendidikan.

(Info lebih lengkap mengenai Savesharks Indonesia, silahkan melipir ke www.savesharksindonesia.org )


Subang dan Purwakarta merupakan kota baru yang pertama kali saya kunjungi di tahun ini. Tak banyak yang bisa saya ceritakan mengenai 2 kota itu karena waktu saya di sana juga terbatas. Mengapa 2 kota ini dikunjungi untuk IGTS? Sebenarnya ini adalah rangkaian perjalanan kampanye ke 5 kota di 5 kabupaten dan saya berkesempatan mengunjungi 2 kota ini.


Yang bisa saya bilang tentang kota ini adalah panas dan banyak jalanan rusak. Hahaha.. Mirip memang dengan Jakarta. Tapi, jangan samakan tingkat pendidikan di kota-kota sama dengan Jakarta. Sebelum mengadakan kegiatan IGTS ini, beberapa siswa/i SMP dan SMA di 5 kabupaten ini mengikuti lomba karya tulisa yang bertemakan mengenai konservasi. Dari hasil karya tulis yang masuk, sangat disayangkan bahwa konten yang dihasilkan masih di bawah standard yang diharapkan dari para siswa sekolah menengah ini. Isu ini masih sangat baru untuk mereka, bahkan ada beberapa yang belum mengenalnya.


Pengalaman berkunjung ke kota-kota kabupaten ini memberikan insight yang cukup menarik bagi saya. Sebagai seseorang yang ingin sekali berkontribusi terhadap penyelamatan lingkungan, isu konservasi ini saya lihat tidak merata menyebar di luar kota-kota besar. Bahkan untuk masuk ranah pendidikan saat ini pun rasanya masih sangat kurang. Jangan mengerti isu konservasi, mungkin saja mereka kurang paham mengapa alam atau lingkungan hidup itu perlu dijaga atau diselamatkan.


Isu atau kampanye lingkungan dengan berbagai topik memang baiknya diangkat dan disebarluaskan dengan bahasa sederhana tapi menarik dan menyentuh sisi emosional manusia. Mengapa? Karena kalau manusia itu sendiri tidak merasa ada keterkaitan dengan isu lingkungan tersebut, makanya dukungan aksi atau bahkan perubahan perilaku untuk menyelamatkan lingkungan akan terhambat. Well, memang itulah tantangan menjadi ‘aktivis’ lingkungan, bagaimana bisa menyuarakan suatu aksi dan mempengaruhi orang lain terlibat di dalamnya.





Monday, February 23, 2015

Postgraduate Life (1) : Langkah "mendadak" Sederhana untuk Hal Baru Yang Menyenangkan

"A journey of a thousand miles begins with a single step"

Kira-kira quote itulah yang bisa mewakili cerita saya kali ini.
Kehidupan perkuliahan pasca sarjana saya dimulai dengan langkah sederhana, bahkan mungkin terbilang spontan.

Mungkin sudah ada yang mengetahui dengan cerita dimana saya sedang menjalankan kuliah S2 saya selama 1,5 tahun belakangan ini di STIKOM The London School of Public Relation Jakarta. Kesempatan ini saya dapatkan atas beasiswa dari El John Pageants, yang menaungi saya pada saat saya menjabat sebagai Putri Bahari Indonesia 2012. Singkat cerita, pada awalnya bukan saya yang berhak mendapatkan beasiswa tersebut. Namun, karena ingin mendapatkan orang yang tepat, kesempatan itu dibuka lebar untuk putri siapa saja yang sedang menjabat kala itu. Salah satu pihak manajemen menghampiri saya "Dithi, kira-kira kamu bersedia untuk mendapatkan beasiswa di London School?". Saya sempat terdiam, namun hanya diberikan waktu sekitar 5-10 menit untuk memutuskan. Tanpa memperpanjang waktu lagi, saya langsung mengambil tawaran tersebut. Proses yang begitu cepat dari persiapan pendaftaran sampai dengan mulainya perkuliahan. Kurang lebih 2 minggu saja saya sudah harus berada lagi di kelas perkuliahan setiap Sabtu dari pukul 10.00-18.30, dengan full bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar.

Keinginan untuk melanjutkan kuliah sudah saya rencanakan sejak 3 tahun lalu. Awalnya, saya berkeinginan untuk melanjutkan studi di luar negeri dan mencari beasiswa. Saya tidak terpikir untuk mengambil jurusan psikologi kembali seperti S1 saya. Mungkin manajeman SDM atau komunikasi bisa menjadi pilihan untuk saya pelajari selanjutnya. Jujur, menjalani S2 di tahun 2013 bukan merupakan prioritas saya, tapi kesempatan itu datang. Dalam waktu singkat saya harus memutuskan, ambil atau tidak....
Jurusan Marketing Communication cukup menarik perhatian saya karena itu merupakan salah satu keinginan saya belajar tentang komunikasi. Namun, tidak berarti jalan saya mulus di awal perkuliahan. "Pindah sistem" dari perguruan tinggi negeri ke swasta dengan lintas jurusan membuat saya harus lebih ngebut untuk bisa menyesuaikan diri. Walaupun sama-sama isu sosial dan ada sedikit banyak peran ilmu psikologi yang sama pelajari sebelumnya di perkuliahan S2 ini, tapi medan perang yang saya hadapi ini berbeda. Kalau tidak ada teman seperjuang keputrian saya, Febrizky, yang juga ikut kuliah, mungkin saya akan "pincang" support system.

Kalau melihat kembali ke belakang, saya pernah ngedumel "Pokoknya gw gak mau kuliah sambil kerja.."
But hei, yang terjadi justru apa yang saya tidak mau. Hahaha.. (Memang ya, ucapan itu bisa jadi doa yang berbalik). Mengatur waktu belajar dengan pekerjaan menjadi tantangan selanjutnya bagi saya di dunia perkuliahan yang sekarang. Ya tidak mudah, tapi harus dijalankan pastinya.

Mengapa akhirnya saya memutuskan untuk mengambil beasiswa ini padahal bukan prioritas saya? Karena kalau bukan sekarang saya belajarnya, ya kapan lagi? Pada akhirnya seiring berjalannya waktu, kuliah S2 ini menjadi kebutuhan saya. Saya juga butuh ilmu baru mengenai komunikasi, karena saat ini saya bekerja di industri komunikasi. Saya perlu tahu tentang strategi komunikasi yang umum itu seperti apa, bagaimana menciptakan dan mempertahankan brand, bagaimana berinteraksi di social media, dsb. Saya buta akan ilmu itu, dan untungnya materi-materi yang diberikan di kampus ini cukup menarik.

Pesan saya bagi teman-teman yang ingin melanjutkan kuliah sebenarnya cukup sederhana. Lanjutkanlah kuliah, kalau memang kalian sudah merasa siap lahir batin, jiwa raga, materi rohani, dan menganggap S2 itu merupakan suatu kebutuhan. Bukan karena kemakan gengsi teman-teman yang sudah S2, atau bukan karena HANYA kepingin, apalagi karena paksaan. Mungkin klise dan akan ada yang bilang "terkadang kita gak tau kapan kita siap.". Tapi, ada yang namanya kata hati kan yang bisa bicara? Kata hati saya saat pertama kali ditawari ini adalah "Ambil sekarang atau tidak sama sekali!" :)